Ketiga pertanyaan yang dilontarkan ke publik oleh Teater Eska, sedikit banyak telah terjawab oleh cerita pengalaman proses kreatif Faisal Ismail. Salah satunya adalah pandangan Faisal Ismail yang mengutarakan bahwa, pendorong masing-masing mahasiswa IAIN pada masa masanya meliputi: (1) demi honor pemuatan karya, (2) pilihan/panggilan hidup, dan (3) mencari eksistensi hidup.
![]() |
| Foto : Riskiana/Pilihan Rakyat |
Dengan bahasa lain, Aly D Musyrifa menyatakan bahwa, untuk menjawab pertanyaan pertama tersebut, sebenarnya dapat dijawab oleh masing-masing penulis (sastrawan) di setiap angkatan. Artinya, motivasi diri penyair menulis puisi tidak lain dan tidak bukan, lantaran panggilan untuk menulis dan adanya kegelisahan yang tidak bisa dibendung dan tidak bisa ditaklukkan kecuali dengan menuliskannya menjadi puisi.
Lebih tegas Aly D Musyrifa menulis dalam paper “Mula Sastra di Kampus Putih” yang dibagikan ke audein sebagai berikut: “Kebahagiaan melihat puisi sendiri muncul dalam sebuah penerbitan yang saua alamisaat itu ternyata tak dimungkinkan tanpa serangkaian peristiwa penting sebelumnya yang meretas jalan panjang dinamika kehidupan sastra di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”. Hal ini sejalan dengan pendapat Faisal Ismail bahwa, pendorong lahirnya penulis di IAIN/UIN karena alasan yang sangat pribadi dan tentu saja ada keterkaitannya dengan situasi di lingkungan mereka hidup.
Pertanyaan kedua, dapat dijawab dengan adanya tradisi berkomunitas, berkawan, dan berdiskusi yang kuat di Yogykarta secara umum dan di IAIN/UIN secara khusus. Tradisi yang kuat tersebut telah berlangsung sejak tahun 60-an hingga sekarang. Walau pun di masa ini, tradisi yang semacam itu sudah mulai luntur. Tetapi, masih bisa digalakkan kembali. Salah satunya dengan adanya Musyawarah Sastra tadi malam.
Aly D Musyrifa menyampaikan pandangan sebagaimana tertulis pula dalam esainya bahwa, pada tahun 1968 Mukti Ali, tokoh penting, jika tidak bisa dibilang sentral, dalam sejarah UIN Sunan Kalijaga, dengan kelompok diskusi “Limited Group,” yang beranggotakan di antaranya M. Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, WS Rendra, Aswab Mahasin, dan Kuntowijoyo, telah memulai peristiwaseni/sastra di kampus dengan menyelenggarakan simposium atay serasehan budaya bertajuk Masalah Estetika dalam Puisi Indonesia Modern.
Sementara itu, Badrul Munir Chair sebagai penyair yang lahir tahun 2008 di UIN Sunan Kalijaga memiliki pengalaman tersendiri (pengalaman yang hampis sama pola dengan bentuk dan situasi berbeda) yaitu, waktu masuk UIN tahun 2008, suasusan kampus sepi dari pertemuan-pertemuan sastra.
Waktu itu, kata Irul, Teater Eska belum bisa menerima anggota baru dengan alasan, belum ada calon anggota yang memenuhi kriteria. Sehingga Badrul bersama kawan-kawannya yang lain melakukan komunikasi dengan penulis-penulis yang dapat ditemui untuk melakukan diskusi di bawah pohon di area kampus timur seminggu sekali. Dari pengamatan Badrul selama berada di kampus putih, kecenderungan sastra mutakhir di kampus putih, dilakukan oleh masing-masing penyair. Hasil karya sastra pun bentuknya serampangan. “Sekarang, kecenderungan karya sastra teman-teman tanpak serampangan. Artinya, tidak ada keseragaman estetika dalam puisi,” ungkap Badrul menanggapi pertanyaan terkait bentuk, tema, dan karakter puisi masa mutakhir di kampus putih. Lebih lanjut Badrul juga menyampaikan bahwa, akhir-akhir ini, tradisi diskusi dan komunalitas antar sastrawan sudah mulai tergerus alis tidak sekuat dulu.
Berbeda dengan apa yang disampaikan Aly D Musyrifa bahwa, tahun 80-an, issue atau gerakan sastra sufistik, khususnya yang ditulis Abdul Had WM benar-benar mewarnai puisi-puisi karya penyair di kampus putih. Waktu itu, Arena sebagai lembaga pers mahasiswa ambil bagian dalam khazanah kesusastraan Indonesia, sastra di Yogyakarta, lebih mengkrucut lagi di Kampus Putih. “Laku kebudayaan/ Kesusastraan yang dilakukan Arena dengan mengadakan seminar dengan tema; Sastra Sufistik vs Sastra Kontekstual,” tegas Aly D Musyrifa.





