Politik Itu Sepak Tanpa Bola II

Politik Itu Sepak Tanpa Bola II, (Foto: Istimewa)
Politik Itu Sepak Tanpa Bola II, (Foto: Istimewa)

Oleh: Tan Hamzah

Tidak disangka oleh pengamat sepakbola, FC Porto tampil sebagai Juara UEFA Champions League 2004 dibawah asuhan Jose Morinho, mengalahkan tim kuda hitam lainnya, AS Monaco. Di partai Final Porto berhasil Menundukkan Monaco dengan skor 3-0, skema serangan yang dirancang oleh skuad Morinho sebenarnya sederhana, tetapi mematikan, lewat serangan balik Porto berhasil mencuri gol dari lawannya, bermain bertahan sepanjang laga dan mengabaikan ball possession ialah strategi yang dipasang pada malam itu, Monaco memborbardir pertahanan Porto, namun sayang tidak satupun peluang yang berhasil dibuahkan menjadi gol, dan akhirnya FC Porto berhak menjadi juara pada tahun itu.

Parkir Bus dan serangan balik cepat melalui sayap, menjadi kunci strategi sang manajer Porto, selama pertandingan berlangsung ada sekitar 6 sampai 8 pemain menghuni pertahanan dan area kotak penalti Porto, taktik yang membuat lawan kewalahan dan frustasi karena tidak bisa fokus membobol gawang. Porto pada 2004 bukanlah tim yang menebar ancaman serius di Liga Champions, skuad Porto rata-rata bukan pemain bintang, timnyapun bukan termasuk kaya, dan pendukungnyapun tidak setenar klub eropa lainnya, seperti Manchester United dan Real Madrid. Tetapi kerja sama tim dan kejeniusan pelatihlah yang membuat scenario itu menarik, dan sebagai tim kuda hitam, ia tidak bisa ditebak arah geraknya.

Baca juga  Golkar dan Sejumlah Politisi Dorong Soeharto Raih Gelar Pahlawan Nasional

Tim kuda hitam, strategi genius, dan moral supporter, kunci sepakan keras Porto untuk menendang klub sekelas Manchester United, PSG, Deportivo La Coruno dan Monaco.

Dalam politik dan seni perang, hal seperti ini sudah pernah terjadi, perang lembah merah di Tiongkok dalam sejarah tiga dinasti, Yhi Shun-Shin di dinasti Joseon dalam perang melawan Kekaisaran Jepang, atau Vietnam Utara melawan tentara Amerika, Taliban melawan Amerika, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari segelintir perang yang kemenangannya bukan terletak pada kuantitas prajurit, tetapi kualitas dan kecemerlangan membaca situasi.

Segala cara dihalalkan dalam politik, etika hanya sekian nomor untuk dipertimbangkan, kemenangan mutlak, dan meminimalisir kerugian adalah tujuan dari kontestasi. Sama halnya dengan perang, meskipun harus mengorbankan prajurit sendiri, asal kemenangan diraih secepat mungkin, apapun resikonya akan ditempuh, Amerika menebarkan virus atau senjata biologi saat menghadapi Vietnam, akibatnya bukan hanya warga Vietnam yang terdampak virus mematikan tersebut, tentara Amerikapun mengalami hal yang sama, bahkan prajurit yang telah pulang ke rumah dan berkeluarga, anak yang dilahirkan akan mengalami cacat fisik sejak lahir, ini karena pengaruh virus yang masih menjangkit di tubuh prajurit.

Dalam sepak bola, kita pernah mendengar istilah bola gajah, mafia dan skandal pengaturan skor. Italia memenangkan gelar Piala Dunia pada 2006 bersama itu juga peristiwa Calciopoli melanda beberapa tim papan atas Seria A Italia, salah satunya Juventus, yang dituduh telah mengatur skor dan juara pada musim tersebut, dengan mengandalkan Mafia sepakbola, seperti pejudi dan orang kaya yang bermain di balik layar, sepak bola memungkinkan siapa saja bisa menang dan bisa juara, inilah pemain bola ke 13, setelah supporter di lapangan hijau tentunya. Begitu juga dengan perhelatan Piala Dunia 2002 yang berlangsung di Korea-Jepang, siapa yang menyangka, tim sekecil Korea Selatan bisa menembus semi-final, ini salah satu skandal sepak bola terbesar dalam sejarah.

Baca juga  Ahmad Dhani Bebas, Mulan Jameela Siapkan Menu Kesukaannya

Sepakbola seperti politik dan perang, segala cara bisa digunakan, asal kemenangan dan kehormatan bisa diraih, tetapi dalam waktu normal, tackle keras dari lawan jangan diabaikan, sekian detik lengah, kita akan kehilangan pemain atau kehilangan kemenangan, seperti baru saja yang terjadi di final super Spanyol, antara Real Madrid dan Atletico Madrid, Federico Valverde menekal Alvaro Morata saat ia berhadapan satu lawan satu dengan kiper El-Real, Thibaut Curtois, sayang  tekel tersebut, menggagalkan peluang Morata dan Atletico harus merelakan gelar Juara.

Seni menendang bola sebenarnya sederhana, tetapi memecahkan stretegi lawan itu yang sulit, jarang sekali pemain bisa memecahkan pertahanan lawan, mungkin di dunia ini hanya dua orang gelandang yang begitu jenius dan bermain lebih mengandalkan otak, yaitu Andrea Pirlo dan Andres Iniesta, pertahanan siapa yang belum ditembus, dan tidak diketahui celahnya oleh pemain tersebut, saya hampir mengatakan tidak ada. Ketenangan dalam menghadapi masalah adalah kunci bermain, bermain bola maupun politik, semua harus rapi, dan waktu yang akan menentukan kemenangan.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *