(Liseh)*
Jumat, 24 Mei 2019, 04.30
PILIHANRAKYAT.ID, Usai bersesubuh, Fajar Ramadhan memandang dingin ke langit dari balik jendela, ke arah matahari yang itu-itu juga masih tetap rajin muncul di ufuk timur. Bukan karena ia terlahir bersamaan dengan fajar saat bulan Ramadhan, tapi ada hal yang tengah membanjiri pikirannya.
“Semuanya selesai, Mada. Sekalipun lo mau dansa berguling-guling.” Begitu Siam menumpulkan lamunannya. Siam selalu muncul menjadi tanaman rambat yang menumpang berdiri tegak pada batang pikirannya. Siam menarik kursi duduk dekat sahabat karibnya.
“Simpan aja pujian lo di lemari makan, bekal buka puasa nanti.” Kilah Ramadhan sambil melempar tangan Siam yang disampirkan pada pundaknya. Ramadhan menjaga jarak, menandakan marahnya belum redam.
“Aha, gue dapat ilham.” Siam menepukkan kedua tangannya, mengabaikan penolakan Ramadhan untuk berbaikan.
“Gue kira hanya ulama yang dapat ilham. Lo juga, Am? Lo yang jadi bajingan di samping gue selama ini?”
“Lo emang pandai, Mada. Bahkan buku Teori Sosial-nya Ritcher, Zaman Bergerak, Second Sex, semua karya Pram hingga Tan Malaka, sudah lo tamatin sejak tahun pertama kuliah. Tapi tahumu ya cuma segitu-gitu aja.” Siam bersedekap, menunggu respon agresif Ramadhan.
“Dasar kepiting. Lain waktu kalau lo sudah profesor, gue belajar sama lo.”
“Kagak begitu maksud gue. Apa lo nggak pernah kepikiran kalau kaum lapar pada akhirnya bakal menguasai gelanggang? Dan mengusir kaum perut buncit dari ladang kapitalisme?”
Ramadhan sudah kenyang dengan arah pembicaraan semacam ini, Siam bisa tiba-tiba mengoceh tentang ironi perang timur tengah saat melihat kucing bertengkar. Atau nyerocos tentang nasionalisme yang makin konservatif saat menyaksikan kandidat Pres-BEM yang ia usung kalah.
“Aih, jual saja ilhammu ke media.”
“Kalau bisa dapat uang dari jual ilham, mungkin kita tak perlu hidup gentayangan macam begini di Jakarta.” Siam mendengus, menyenggol lengan kawannya yang berbadan lebih gempal darinya.
“Lo tahu kenapa dulu gue sering ikut aksi? Karena teriakan kemanusiaan terdengar lebih menggetarkan hati dan meluruhkan hasrat kebinatangan yang menjalang pada pantat-pantat malas yang hanya duduk menambah buncit perut. Tapi aksi 22 Mei kemarin, membuatku merasa sebaliknya. Kalian hanya dimanfaatkan layaknya kuda troya untuk membuka gerbang dari dalam, lalu muncullah para perusuh itu menyerang.” Ramadhan masih belum memaafkanku, begitu Siam menyimpulkan.
“Lo harus masuk partai politik, Mada.” Ucap Siam berusaha mengalihkan pembicaraan.“Lo sarjana Fisip UI. Politik aktif lo paham, ilmu sosial dan ekonomi sering lo baca. Kemampuan menulis lo juga tidak payah. Setidaknya pernah menerbitkan antologi esai. Orasi lo jago. Kualifikasi yang pas untuk masuk gelanggang politik. Lo bisa jadi DPR, bahkan ketuanya. Paling tidak jadi menteri. Gue siap menjadi ajudanmu kelak.”
Tawa Ramadhan meledak, “habis nonton My Fellow Citizens lo?” Pacarnya yang seorang apoteker pernah menghabiskan dua jam mengocehkan konflik dalam drakor itu. Akhirnya Ramadhan ingat pula ancamannya, jika ikut aksi lagi maka hubungan mereka selesai.
“Bukan, The K2.” Siam mendengus, lalu sesalnya membuat ia merasa bagai ampas kopi yang ditelantarkan. Layaknya semua buah pemikiran briliannya yang sering hanya dijadikan ampas perbincangan oleh Ramadhan.
“Berpolitik dengan menjadi politikus itu beda, Am.” Ramadhan menatap tajam mata kawannya itu yang kebetulan sedang menggaruk kepalanya, “ah, sudahlah. Tiada guna bicara yang muluk-muluk. Ayo tidur lagi, nanti sore bangunkan, mau jemput Ranum.” Lalu ia bangkit menuju kamar dan berbaring meringkuk seperti bayi dalam kandungan agar sarungnya cukup untuk menyelimuti tubuhnya. Siam menyusul berbaring di sebelahnya degan bersusah payah karena kakinya masih diperban.
Ilham itu muncul akibat lapar karena tak ia bangunkan sahur tadi sepertinya. Begitu akhirnya Ramadhan menyimpulkan.
Pukul dua siang mereka bangun tergagap-gagap karena bunyi alarm ponsel. Siam melanjutkan tidurnya, Ramadhan mandi untuk dhuhuran, lalu meninggalkan kontrakan di bilangan Kayu Putih-Pulo Gadung, dengan beban pikiran khawatir Ranum menegaskan ancamannya. Semua ini gara-gara mulut embernya Siam, gerutunya.
Kalau saja waktu itu aku menahannya ikut aksi, atau bertindak masa bodoh saat ia menelfon sedang ricuh dan terluka. Ah, terkutuklah lapar yang menjadikanku melankolis.
Selasa, 21 Mei 2019, 08.45
“Kerusuhan mengimbangi kedunguan. Kalau hanya menyoal klaim pemenangan suara, masih perlu dibela mati-matian? Jangan sampai lo hanya jadi kuda troya-nya mereka yang punya kepentingan.” Ramadhan sudah tak bisa menahan geramnya, membiarkan Siam diperalat kawan sekubunya untuk terus menimbun pupuk fanatisme terhadap salah satu paslon yang diumumkan kalah dalam Pilpres.
Sebab Ramadhan sudah kenyang dengan pengalaman aksi sepanjang kuliah dulu, Sang Panglima Aksi, julukannya. Maka, ia menyimpulkan akan ada hal tak beres. Pilpres kali ini memang lebih panas, ada banyak drama politik diperankan, lebih banyak lagi pencitraan yang dimuncul-munculkan. Politik memang begitu, semuanya bisa diganti kecuali orang tua. Bagi politikus, mainan paling menyenangkan adalah manipulasi politik, meski tak jarang itulah yang membuat mereka paling menderita dan alasan yang digunakan untuk berkilah, ya adu strategi manipulasi politik lagi. The devil’s circle.
“Tenang saja, Mada. Kali ini aman, tiada ruang untuk perusuh.” Siam berusaha meyakinkan. Sejak SMA dulu, keduanya akrab dan saling bertukar rahasia karena merasa takdir menyatukan mereka lewat nama yang memiliki arti sama, Ramadhan berarti bulan puasa, Siam berarti berpuasa.
Namun bukan sekali ini keduanya beda pilihan, beda pendapat. Pertengkaran mereka paling banter hanya mengakibatkan sumpah serapah tapi tetap satu meja di warung kopi. Mau 01 atau 02, kita tetap pegang teguh sila ke-3 yaitu, Persatuan Indonesia, begitu mereka bersepakat. Sejak selesai kuliah, keduanya adalah makelar politik yang pandai menggiring suara massa, banyak proyek ditangani bersama meski kadang pernah berlainan kubu. Dan pemilu tahun ini adalah periode paling sering mereka berseberangan.
Jam sembilan pagi Siam berangkat, Ramadhan menyambar laptop-nya. Kali ini buah pikirannya menuntut untuk masak. “Seni Mengantisipasi Kekalahan”, begitu ia menjuduli artikel pertamanya yang selesai dalam tiga jam. Kalau sudah panen ide, sehari bisa tiga artikel dibuat. Baginya menulis tak hanya memburu kepuasan pribadi agar dimuat, tapi mengisi sebagian hidupnya yang kadang kosong oleh melompongnya isi pikiran. Televisi di sisi kananya dibiarkan menyala untuk mengikuti perkembangan aksi di depan Bawaslu.
“Mada, tolong jemput gue di Petamburan. Kaki patah, kepala bocor.” Ramadhan gelagapan dari kantuknya saat mendengar kabar dari seberang telfon.
Jember, Juni 2019
-Bersambung-
* Liseh, Pengurus Koordinator Cabang PMII Jawa Timur.