Bisik-Bisik Cinta di Jendela #2

banner 468x60
Sumber Gambar: maxhavelaarfurniture.indonetwork.co.id

Bisik-Bisik Cinta di Jendela #2
Kontributor: Selendang Sulaiman

Pembaca Pilihan Rakyat yang budiman, dalam bagian Bisik-bisik Cinta di Jendela #2 akan saya susupi puisi yang saya tulis setahun setelah catatan ini ditulis. Sepenuhnya, puisi saya ini dikhususkan buat media Pilihan Rakyat. Puisi tersebut berjudul “Bantal Malam” dan “Hutang Kebahagiaan”.

Bantal Malam

inseden birahi di ujung malam
menetaskan api bantal guling
udara masuk kamar bakar kecup
mencipta peluk dan berakhir peluh

mataku intimidasi matamu
matamu isolasi mataku
mata kita padam saling selam
ke palung hasrat terdalam

lalu kita erami telur malam
hingga embun menetes
di mata pagi yang luka
menetaskan dua ekor burung neraka

2013-2015

Hutang Kebahagiaan

berbahagialah tubuhku, kini engkau
penuh limpahan hutang kebahagiaan
berbahagialah tubuhku, kini engkau
dipenuhi sisik ular keberuntungan

2014-2015

Kedua puisi yang saya sisipkan, sebagai satu upaya berbagi kisah perjalanan hidup sebagai seorang penyair yang cenderung menulis catatan harian sebagai laku hidup. Sebab Catatan harian juga laku-laku kreatif yang pernah menjadi tradisi literasi di zaman dahulu kala, sehingga tradisi dan kebudayaan lahir. Khususnya sastra baik di Indonesia maupun di negara-negara lain seperti Amerika dan Eropa.
Baiklah, selamat menikmati lanjutan bisik-bisik cinta di jendela pada bagian kedua di bawah ini:

Sabtu, 9 Juni 2012 / 14:15
Catatan ini bukanlah tulisan yang begitu baik (mungkin) untuk aku tulis dan kubacakan pada orang-orang. Hanya saja, aku merasa jika aku tidak menuliskan setiap peristiwa yang aku alami beberapa bulan ini menjadi catatan yang utuh. Aku merasa catatan ini akan menjadi istimewa bilamana aku telah tidak bisa menulis lagi.
Mumpung, ya, selagi ada waktu, selagi semangat hidup masih menyala dan kian menggebu untuk memahami dan memaknainya, lalu mengisinya dengan perbuatan-perbuatan yang baik untuk aku dan orang-orang di sekitarku. Sebab adaku kini, di sini, bukanlah apa-apa dan siapa, jika tanpa ada mereka. Aku sudah tenang hidup sebagaimana ini sudah terjadi dan kujalani.
Catatan ini, catatan pribadi tentang kenangan-kenangan cinta dan cita-cita bahkan tentang kewajiban-kewajibanku yang mesti ditunaikan. Aku menjadi ada seperti diriku sendiri sejak semuanya itu menjadi bagian dari perjalanan hidupku. Barangkali apa yang aku alami ini adalah keniscayaan hidup bagi setiap manusia. Dan mungkin tidak ada yang lebih darisebuah cerita-cerita sumbang yang aku tuliskan.
Cinta, cita-cita, dan kewajiban sudah menjadi amanah diri untuk ditunaikan. Hidup dan kehidupan mengalir dengan daya cinta, kekuatan cita-cita, dan kemampuan untuk menunaikan segala kewajiban yang telah digariskan.
Sebagaimana si Burung Merak dalam baik sajaknya yang berjudul “Hai Ma” ada uang meneguhkan perasaan ini bahwa; “masing-masing pihak punya cita-cita, masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata”. Karenanya, perihal cinta, tak lain adalah penyeimbang antara cita-cita dan kewajiban. Bersama cinta aku bisa menentukan prioritas dari setiap tindakan untuk menjalankan setiap cita-cita dan melunasi setiap kewajiban.
“Cinta, berkah bukan musibah,” aku masih ingat kata orang yang menulis pesan bijak itu. Aku sepakat bahwa cinta bukan musibah yang berbentuk dukan dan luka-luka, atau cintahanya dijadikan alat untuk memuaskan nafsu. Sebagaimana cintaku padamu, kekasihku. Cintaku bukanlah sekedar hati berhasrat atau cinta yang dibakar nafsu birahi asmara. Cintaku ini sudah benar adanya, walaupun waktu telah menjatukan kita de dalam lubang gelap yang tanpa harum bunga-bunga kemesraan. Cintaku padamu tak lain adalah cinta yang hadir karena aku mencintaimu.
Bersambung….  baca selajutnya bagian #3
Sebagai hadiah sebab Anda masih setia membacanya, saya persembahkan sebuah Soneta Cinta berjudul “Perpisahan yang Selalu”:

Perpisahan Yang Selalu

kutempuh setiap perpisahan atas nama kita
perjalanan sudah panjang tak berbatas hingga
telah kupilah-pilih tugas dan kewajiban nyata
di mana ada pemberhentian untuk tunaikan kita

sejenak aku diam dan melihat sungai mengalir
di perlintasan aku dan kau; ketenangan menua
dengan instrumen ricik dan sepoi yang menikah
maka sekalah dulu air mata di kelopakmu itu.

“aku menatapmu dua kali, sebelum tiba di kereta
pertama kulihat kau dari jendela dan yang kedua
masih dari jendela sampai lenyap dari bola mata”

pesanmu seperti isyarat mata yang berkaca-kaca
lepaskanlah jika tetes, toh sungai kita segera sampai
di muara dan di sana keabadiaan menjadi kita

September, 2013

Selendang Sulaiman, nama pena dari Achmad Sulaiman. Penyair, Blogger, Notulen, dan Konsultan Cinta di Warung-warung Kopi. Karyanya telah tersebar banyak di Media Massa baik Lokal maupun Nasional. Kini bermukim di Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *