Puisi  

Tongkat Matahari dari Mataram

Dicrop dari Fil Armi alive : Koleksi Pribadi


Puisi: Tongkat Matahari dari Mataram | Lukisan Pembantu di Kepala | Kabar Maling dan Nira | Tunggu di Barat! | Mirip Sangkuriang | Madah Pujangga



Kontributor: Achmad Sulaiman 



Tongkat Matahari dari Mataram
tongkat matahari menegak di langit Mataram
di kampus-kampus para pesilat bertarung intrik politik
di persimpangan mahasiswa menabur bunga-bunga bangkai
dan dupa amarah songsong nurani ke puncak birahi kekuasaan
kami, penerus si binatang jalang di hutan-hutan yang tersisa.
lalu dewa penjaga meniupkan mimpi mahkota adikuasa,
di tidur kami, dengan semesta definisi politik sebagai panglima.
sementara kami lupa, kami berpura-pura tak mengerti apa-apa

benar, kami tak peduli pada persiden, pada menteri, dan
wakil-wakil rakyat yang diam-diam menyusun rencana jahat
itulah sebab, kami tak rela dan enggan membuat persutujuan 
untuk apa bicara dengan raga yang batu tak berjiwa
toh, yang namanya nurani tetap tak terjamah
kecuali kami lelah dan lengah atau kehilangan sukma
2013-2015
Lukisan Pembantu di Kepala
sepanjang malam di kereta, tubuhku
dikerumuni burung-burung hantu masa silam
pada tajam bola matanya, lukisan kelam
dengan sekian arsitektur rumah-tumah mewah
pekarangan penuh tanaman hias dan kolam
tapi warna temaram menyelimutinya
pintu-pintu utama berderit, muncullah wajah
pucat pasi pembantu kesepian dan sedih
“kapan majikanku pulang, kemana perginya”
kepalaku menoleh keluar jendela kereta
lampu-lampu dikejauhan sama temaramnya
kucoba mencipta bunyi sekali tiupan
berharap sampai di telinga pembantu yang sepi
tetapi, ia hanya isi lukisan kepalaku
2013
Kabar Maling dan Nira
lelaki berselendang genta sapi dari neneknya
ditemui mimpi pelarian sapi dari kandang tetangga
lelaki itu saksi mata satu-satunya bapaknya
dan selalu berani bersaksi di hadapan warga
“ibu, kembang mayang di kebunku,
 niranya subur sejak tiga purnama lalu.
ke depan aku akan memiliki
segudang dula merah selamatan”
lelaki bicara pada ibunya lewat handphone
2013
Tunggu di Barat!
masihkah warna langit sore dapat dipahami
pada sekawanan bangau pulang ke selatan
pada pucuk-pucuk terbelai-belai angin kemarau
tatkala mata-mata bayi ditelan kesibukan
nuraniku merindukan masa kanak-kanak
bentangkan senyum di terbang layang-layang
berlarian di atas rerumput dengan kaki telanjang
“tunggu di barat, tunggu!” teriak-teriak riang
sore ini aku sedih dan pergi ke lebirin puisi
aku cari pematang silam dan pepohonan nyiur
siapa kira senyum dan layanganku ada di sana
sedihku akut, bergelayut pedih, minggat
ke perkampungan orang-orang kaya liur tawa
“kini, dunia tidak terbingkai langit sore, teman!”
2013- 2014
Mirip Sangkuriang
ya Allah, engkaukah itu
yang mengutus titisan Khatijah
dengan binar-binar mukjizat
di kedua telapak tangannya ?
hadir kepadaku yang tersiksa
di kulit materi-materi kegelapan
sungguh aku merasakan lekat-lakat
getar suntuh kasihmu dalam dada
benar aku bukan sang nabi
misal kahadiran Balqis bagi Sulaiman
atau Hajar baginya Ibrahim
barangkali mirip Sangkuriang
yang tergenapi pekat niatnya
yang tercemari fitrah kemanusiaanya
2013
Madah Pujangga
kita hidup dengan dunia yang kita cipta sendiri
tanpa dinding ruang dan batas waktu yang nyata
pertemuan kita tunaikan dengan segala makna
yang ada dan tiada sekedar soal kefanaan
setiap detik usia menua, kita diam di tempat
saling manjauh untuk menyatakan kedekatan
tidakkah keintiman sepatah kata dunia
bagian dari jiwa-jiwa kita yang menyatu?
duduklah Dige, gerai rambutmu di pipiku
biar kusempurnakan senyummu tiap waktu
dengan bibirku yang liar di lidahmu
maka engkaulah saksi sekaligus siksa
di kehidupanku yang berkerumun soneta
dari sisa madah pujangga masa lalu
2013

Achmad Sulaiman adalah pemangku blog pilihan rakyat (pilihanrakyatnews.blogspot.co.id). Juga seorang blogger dan penulis lepas. Sesekali diundang menjadi Notulen, moderator, dan pembaca puisi.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *