Bisik-Bisik Cinta di Jendela #3

banner 468x60
Kontributor: Selendang Sulaiman

Minggu, 10 Juni 2012 / 04:35

Malam sudah lenyap ke perutku bersama setetes embun yang jatuh ke bibirku dan kutelan dengan sebutir rasa yang ganjil. Rasa yang senantiasa hadir bersama masa lalu. Lidahku peka sepeka-pekanya, meski mata sudah tak mampu menakar warna remang dan kelam. Sebab tak lagi kulihat cahaya terang dari lubuk yang pernah bersemikan bunga-bunga mawar warna putih saat bulan sabit menjelma purnama di album kenangan itu.

catatan ini hadir bersama kesegaran sehabis subuh memanggil orang-orang tidur dan mengusir para penunggu malam di cafe-cafe dan warung kopi 24 jam untuk segera pergi ke kegelapannya masing-masing di pagi sampai tengah hari. Akulah itu yang tersandung sinar mahatahi pagi lalu terlempar ke dalam mimpi yang seburuk-buruknya mimpi. Apalagi cintaku, senatiasa hadir terlambat waktu, sebagaimana jagaku yang tidakpernah tepat waktu. Aku yang malas melahirkan cinta yang ganjil padamu yang dipenuhi bekas bengkak luka kenangan yang aku rasakan benar nyeri dan desah resah dari setiap alur cerita-ceritamu.

Sungguh!

Catatan ini juga entahlah. Mengalir saja tanpa muara akhir, kecuali kematian. Entah pula akan cintaku yang telah bernama kenangan, masih ada alasan atau tidak sama sekai untuk bertemu, juga entahlah. Sebagaimana doamu pada Tuhanmu yang maha entah.

Menulis catatan inilah yang pasti dan nyata buatku. Tidak ada waktu lagi hanya untuk sebuah ratapan luka segala nyeri dan sakit sudahlah nisacara. Doa-doa dan pujian segala yang indah tak juga akan mengembalikan waktu yang telah aku robek-robek bersamamu menjadi keping-keping lara di ranting-ranting senyum dan tawa kita masing-masing. Atau itulah reruntuhan cerita-cerita rasa dari masa-masa yang lalu.

Catatan ini aku tulis untuk nikmat deritaku sepanjang usiaku kini. Yang barankali tak lama lagi. Usiaku sudah sampai sebegini indah dan nikmatnya. Entah rasa syukur sudah kutunaikan atau entahlah. Tetapi cintaku, bila waktu telah tiba, cinta menjadi mahabbah hidupku denganmu. Lalu aku mulai paham makna kehidupan. Itulah kenikmatan bagiku kini.

Ingatkah engkau dengan sepenggal sajak muda yang kutuliskan padamu, setahun lalu? Mungkin kau sudah melupakannya bersama rasa yang entah bagaimana bentuknya di kedalaman dirimu. Jika benar engkau lupa, bacalah lagi sajak cintaku ini! Semoga kau masih mengingatnya atau setidaknya kau bisa bercermin lagi ke masa lalu.

Inilah sajak yang kutulis dulu buatmu:

Ingat Pulang

bila kau lupa jalan pulang, hentakkan kakimu biar gelang yang kau pinta pada gadis pasir itu bergerincing nyaring sampai di lubuk ingatan. sebab arah pulang sudah menanti di setiap rambutmu bergerai tersaput angin utara dan di lengkung alismu ada isyarat dan tanda yang akan menunjukkan kemana arah kaki kau akan langkahkan jika senja datang di awal.

bila kau lupa jalan pulang, perjamkan kedua matamu, jahitlah pecahan kenangan yang berserak di malam. maka kau akan melihat lorong panjang di depanmu, dan seorang lelaki yang sedang menimba air mata.

2011

satu puisi lagi yang cukup pendek, mungkin kau akan menyukainya, puisi yang tak sempat kuberi judul:

Kekasihku, bila waktu telah kau baca dan ruang sepenuhnya kau pahami
ingin aku bercerita tentang yang gugur kepamu, angin dan udara.
sebab segala yang tumbuh di pikiran tak lagi basa sekering daun kering
dan tak lagi basah sebadah hati embun pagi hari

2011

Bersambung…. baca selajutnya bagian #4

Selendang Sulaiman, nama pena dari Achmad Sulaiman. Penyair, Blogger, Notulen, dan Konsultan Cinta di Warung-warung Kopi. Karyanya telah tersebar banyak di Media Massa baik Lokal maupun Nasional. Kini bermukim di Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *