PILIHANRAKYAT.ID, Yogyakarta-Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Losta Institute, menganalisis secara kritis gaya komunikasi dan konsistensi kebijakan Presiden Prabowo Subianto selama 180 hari pertama masa pemerintahannya.
Studi ini berjudul “Ketika Retorika Bertemu Realita: Analisis Gaya Kepemimpinan dan Konsistensi Kebijakan Presiden Prabowo Subianto di Awal Pemerintahan (2024–2025)”.
Menurut Wahyu Sumprabowo Hardi direktur strategi losta Institute, Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya kepemimpinan dan komunikasi Presiden Prabowo Subianto pada masa awal pemerintahannya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Pendekatan ini digunakan untuk memahami makna, konteks, dan dinamika sosial-politik di balik pernyataan dan tindakan Presiden Prabowo Subianto pada masa awal pemerintahannya.
Berdasarkan temuan yang diperoleh, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Gaya Komunikasi Prabowo Bersifat Lugas, Emosional, dan Nasionalistik Presiden Prabowo tampil sebagai pemimpin yang tidak artifisial, berbicara langsung kepada publik dengan gaya yang blak-blakan, penuh diksi nasionalisme, dan emosi rakyat kecil.
Dalam kerangka wacana, ia memposisikan diri sebagai patriot dan pembela rakyat biasa, serta menegaskan kemandirian bangsa sebagai ideologi utama pemerintahannya.
2. Konsistensi Retorika dan Kebijakan terbukti di beberapa bidang, tetapi tidak menyeluruh Program-program seperti makan siang gratis, hilirisasi SDA, dan swasembada pangan menunjukkan bahwa retorika kesejahteraan rakyat dan kemandirian nasional diikuti dengan kebijakan konkret.
Namun, terdapat ketidaksesuaian pada isu demokrasi (minim oposisi), etika pemerintahan (kontroversi menteri), serta komitmen lingkungan dan HAM, yang masih lemah baik dalam retorika maupun kebijakan.
3. Respons publik terbelah antara Apresiasi dan kekhawatiran. Prabowo mendapat dukungan kuat dari publik akar rumput yang melihat ketegasan dan empatinya sebagai kekuatan.
Namun, dari sisi masyarakat sipil dan kelompok akademik, muncul kritik terhadap sentralisasi kekuasaan, absennya agenda HAM-lingkungan, dan lemahnya kontrol atas para pembantunya. Ini menciptakan tensi politik jangka menengahyang berpotensi membesar jika tidak dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas.
Respons publik yang terbelah ini melahirkan beberapa implikasi politik:
3.1.Penguatan Citra sebagai Pemimpin Populis-Nasionalis. Prabowo berhasil memperkuat basis dukungan dari kalangan yang menginginkan pemimpin tegas dan tidak banyak basa-basi. Namun, gaya ini perlu dikawal dengan konsistensi kebijakan agar tidak kehilangan kredibilitas.
3.2.Ujian Legitimasi dari Kalangan Kritis Kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan media yang independen menjadi benteng utama kontrol demokrasi di tengah koalisi parlementer yang minim oposisi. Legitimasi politik Prabowo akan diuji ketika retorikanya tidak diikuti tindakan yang konsisten, terutama dalam isu HAM dan lingkungan.
3.3.Potensi Delegitimasi dari Kontroversi InternalJika kontroversi dari para menteri terus terjadi, atau jika Prabowo dianggap tidak mengoreksi pembantunya secara tegas, maka kredibilitas politiknya bisa terganggu. Ini bisa menurunkan kepercayaan publik jangka panjang.
3.4.Stabilitas Jangka Pendek vs Ketegangan Jangka MenengahPemerintahan Prabowo relatif stabil di awal karena basis dukungan politik dan sosial cukup kuat. Namun, tanpa ruang oposisi yang sehat dan sistem kontrol efektif, ketegangan politik bisa muncul saat masyarakat sipil merasa aspirasinya tidak didengar.
4. Ketidak-artifisialan Prabowo adalah Kekuatan dan TantanganKeaslian gaya komunikasi Prabowo menjadi modal politik, namun juga mengandung risiko jika tidak disertai keselarasan sistematis antar-aktor pemerintahan. Ucapan spontan, keputusan cepat, dan struktur koalisi besar harus dikawal dengan kontrol birokratis dan etika publik yang ketat.