PILIHANRAKYAT. ID, Probolinggo-Dalam 100 hari kerjanya, Pemerintah Kabupaten Probolinggo meluncurkan program percepatan pembangunan dengan anggaran Rp22 miliar. Program ini digadang-gadang sebagai wujud dari komitmen perubahan cepat. Namun, sebagai masyarakat yang lahir dan tumbuh dalam tradisi Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang menjunjung tinggi keseimbangan antara lahir dan batin, antara estetika dan etika kita patut bertanya: apakah pembangunan ini sudah benar-benar berpihak pada kemaslahatan umat?
Tawasuth dan Tawazun: Moderasi dalam Kebijakan Pembangunan
Aswaja mengajarkan kita pentingnya tawasuth (moderat) dan tawazun (seimbang) dalam bertindak, termasuk dalam merancang kebijakan publik. Maka ketika pembangunan justru berat sebelah lebih mengedepankan aspek kosmetik ketimbang substansi maka semangat Aswaja sejatinya belum menyatu dalam denyut nadi pemerintahan.
Pengecatan trotoar, penataan taman kota, hingga renovasi alun-alun memang memberi kesan visual yang menyegarkan. Tetapi ketika masyarakat di pelosok masih sulit mengakses layanan kesehatan, pendidikan berkualitas, dan kebutuhan pokok seperti air bersih dan gizi anak, maka pembangunan itu belum menyeimbangkan kebutuhan lahiriah dan batiniah masyarakat.
Pemerintahan dalam perspektif Aswaja bukan hanya tentang “mempercantik tampilan,” tetapi bagaimana maqashid syariah (tujuan utama syariat) dapat dijalankan dalam ruang kebijakan: menjaga jiwa (hifzh al-nafs), akal (hifzh al-‘aql), keturunan (hifzh al-nasl), harta (hifzh al-mal), dan agama (hifzh al-din). Ketika anggaran besar tidak menyasar hal-hal ini, maka pembangunan kehilangan ruh-nya.
I’tidal dan Amanah: Keadilan Sebagai Arah Kepemimpinan.
Aswaja juga mengajarkan i’tidal (keadilan) dan amanah dalam memimpin. Seorang pemimpin tidak sekadar dituntut untuk bekerja cepat, tapi juga adil—memberi prioritas kepada mereka yang paling membutuhkan. Dalam konteks Probolinggo, angka IPM yang tak mencapai target, dan kemiskinan yang masih tinggi, adalah alarm bahwa pembangunan belum adil dan belum menyentuh akar.
Apakah pantas menggelontorkan Rp22 miliar untuk program yang sebagian besar bersifat seremonial, sementara buruh tani, nelayan, dan masyarakat pinggiran masih berjibaku dengan harga bahan pokok, layanan publik yang minim, serta ketidakpastian hidup?
Kepemimpinan dalam Aswaja bukanlah panggung pencitraan. Ia adalah tanggung jawab ilahiah. Pemimpin yang baik adalah yang bersedia menunda popularitas demi memastikan kesejahteraan umat. Seperti pesan agung Khalifah Umar bin Khattab, “Jika ada seekor keledai terperosok di Irak karena jalan rusak, aku khawatir akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.”
Transparansi: Pilar Akhlakul Karimah dalam Pemerintahan
Minimnya transparansi dalam penggunaan anggaran 100 hari kerja juga mencederai prinsip akhlakul karimah yang menjadi mahkota Aswaja. Keterbukaan kepada publik bukan hanya soal prosedur, tetapi bagian dari adab. Ketika masyarakat tidak tahu ke mana dana publik diarahkan, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana dampaknya, maka kepercayaan luntur, dan peluang manipulasi terbuka lebar.
Aswaja mendidik umat untuk berlaku jujur, terbuka, dan bertanggung jawab. Pemerintahan pun demikian: ia harus bertumpu pada prinsip mas’uliyyah (pertanggungjawaban) kepada rakyat dan kepada Allah SWT.
Stunting dan Kemiskinan: Darurat yang Lebih Mendesak
Anak-anak yang mengalami stunting di desa-desa Probolinggo bukan hanya statistik. Mereka adalah amanah Allah yang terabaikan. Aswaja memuliakan ilmu dan kehidupan. Maka setiap kebijakan yang tidak menjamin pendidikan yang layak, kesehatan yang memadai, dan lingkungan tumbuh-kembang yang sehat adalah pengkhianatan terhadap maqashid syariah.
Apalah arti rumput sintetis dan lampu taman jika anak-anak masih kekurangan gizi? Bukankah lebih utama membangun rumah sakit yang bisa dijangkau rakyat miskin daripada mengecat kantor dinas?
Menjadi Pemimpin Umat, Bukan Penguasa Imaji
Dalam sejarah Islam, pemimpin adalah pelayan umat. Bukan penguasa yang membangun istana pencitraan. Maka bupati hari ini harus kembali meneguhkan orientasi kepemimpinan pada hal yang fardhu kifayah yang jika ditinggalkan, seluruh masyarakat akan menanggung dosanya.
Probolinggo tidak membutuhkan pemimpin yang sibuk mencatat likes dan share di media sosial. Probolinggo membutuhkan pemimpin yang hadir dalam gelapnya malam anak-anak putus sekolah, dalam antrean panjang pasien di puskesmas, dalam gubuk-gubuk renta yang tak tersentuh pembangunan.
Kembali ke Jalan Aswaja
Aswaja kontemporer mengajarkan kita untuk bijak, seimbang, dan visioner. Saat ini, sudah waktunya Pemerintah Kabupaten Probolinggo mengevaluasi ulang arah pembangunannya. Program 100 hari bukanlah kesalahan pada dirinya sendiri, tetapi akan menjadi kesalahan jika ia menjauh dari kebutuhan riil masyarakat.
Mari kita bangun Probolinggo dengan ruh Aswaja: dengan moderasi, keadilan, transparansi, dan keberpihakan kepada mereka yang lemah. Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan bukanlah seberapa cepat kita membangun taman, tetapi seberapa besar kita memanusiakan manusia.