Oleh: Ahmad Faidi*
PILIHANRAKYAT.ID, Salatiga-Pada tahun 2018 lalu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah melakukan penataan ulang pada 3 jenis pelayanan seperti katarak, persalinan bayi yang sehat, dan rehabilitasi medik atau fisioterapi. Kebijakan tersebut sempat menimbulkan reaksi yang cukup beragam dari berbagai kalangan masyarakat luas. Bahkan, media santer memberitakan kebijakan tersebut sebagai upaya pemerintah untuk “menghapus” 3 jenis pelayanan tersebut.
Setahun berselang, BPJS kembali menuai kontroversi. Beberapa pekan terakhir, media massa dipenuhi dengan pemberitaan tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Sontak masyarakat luas memberikan tanggapan keras, dan bahkan cenderung mengkritik pemerintah. Kebijakan tersebut dianggap cukup memberatkan masyarakat. Pasalnya, kenaikan iuran BPJS tersebut dapat dibilang cukup fantastis, yakni mencapai 100%.
Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi BPJS yang sedang mengalami kerugian hingga triliunan rupiah. Pada tahun 2019, BPJS Kesehatan diperkirakan akan mengalami defisit mencapai 28 triliun rupiah. Dalam menangani hal itu, pemerintah sedang berupaya keras menata kebijakan-kebijakan baru untuk mencegah dan menanggulangi bahaya defisit yang sedang mengancam BPJS Kesehatan.
Tentu, dalam hal ini pemerintah tetap memposisikan BPJS Kesehatan sebagai Lembaga Bisnis. BPJS Kesehatan bukan Panti Sosial yang dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara gratis dan tanpa pamrih sepeserpun. “Keuntungan” tetap menjadi target utama bagi masa depan BPJS Kesehatan.
Perusahaan Asuransi, termasuk BPJS Kesehatan, merupakan lembaga bisnis yang lahan eksploitasinya adalah “rasa takut” (pesimisme) akan masa depan. Hal ini dapat kita temukan pada strategi penawaran lembaga-lembaga Asuransi dalam mempengaruhi para calon pelanggan. “Rasa takut” akan ketidakpastian masa depan dihadirkan sedemikian rupa di hadapan calon pelanggan. Tujuannya adalah membuat para calon pelanggan yakin (baca; benar-benar takut) akan ketidak pastian masa depannya. Dengan cara itu, maka nasabah semakin berlimpah dan pundi-pundi rupiah pun akan senantiasa mengalir memenuhi rekening-rekening perusahaan asuransi.
Gamblangnya, perusahaan Asuransi, termasuk BPJS, akan berkembang pesat dikala penyakit psikologis bangsa semakin lestari. Kondisi demikian tentu berseberangan dengan nilai-nilai islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Secara gamblang Islam telah menyeru kepada para pemeluknya untuk tidak perlu khawatir dan takut akan masa depannya. Islam telah mengajarkan untuk senantiasa optimis (husnu dzan) dan yakin bahwa Allah akan selalu ada untuk masa depannya. Agama selalu menekankan bahwa pada setiap musibah, Allah senantiasa menyertakan obat di baliknya. Karena itu lah maka agama hadir sebagai syifa’ bagi para penganutnya.
Tentu, anjuran agama tersebut sangatlah rasional. Secanggih-cangihnya manusia, dari zaman bahula hingga zaman milenial, belum ada satu jenis manusia pun yang dapat meramal dan merancang masa depannya secara spesifik dan akurat.
Ironisnya, perusahaan asuransi di Indonesia justru dapat berkembang cukup pesat di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas beragama islam. Hal ini menjadi indikasi bahwa penyakit psikologis bangsa Indonesia semakin meningkat. Pemerintah, melalui BPJS Kesehatan, juga turut serta dalam kompetisi dunia profit tersebut.
Memang, perlu diakui bahwa pendirian BPJS Kesehatan merupakan i’tikad baik pemerintah demi kesejahteraan dan kesehatan masyarakat Indonesia. Lebih-lebih, BPJS Kesehatan digadang-gadang sebagai motor penggerak utama pemerintah menuju Indonesia Sehat.
Tetapi, pada sisi yang lain pemerintah justru mendorong tumbuh-suburnya penyakit psikologis bangsa Indonesia. Apalagi akhir-akhir ini Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang kenaikan iuran BPJS. Itu artinya masyarakat harus merogoh gocek semakin banyak untuk melestarikan dan memupuk penyakit psikologisnya.
Tentu, penyakit bangsa yang semakin akut ini menjadi tanggung jawab bersama. Para tenaga pendidik, tokoh-tokoh agamawan, dan pemerintah harus saling bersinergi satu sama lain. Sumbangan pemikiran dari berbagai kalangan, tentu sangat dibutuhkan untuk mencegah penyebaran dan penyuburan penyakit psikologis bangsa.
Tetapi, peran sentralnya harus tetap ada di tangan pemerintah. Para tenaga didik dan tokoh-tokoh agama dapat memperkokoh pendidikan karakter, pemerintah harus mendukung dengan kebijakan-kebijakan yang pro “revolusi mental.” Salah satu alternatif yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mengalihkan BPJS Kesehatan dari lembaga profit menjadi lembaga bantuan sosial murni.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora IAIN Salatiga