Juru Tulis: Selman Manrifaivsky
TIM, Jakarta, 25-28 Juli 2013
Buka bersama di halaman depan panggung lomba baca puisi, aku girang. Aku menemukan suasana lain, suasana tenang di Jakarta, di antara kemacetan dan gedung-gedung penuh rahasia.
Di lokasi acara aku bertemu teman baru, pengalaman dan pelajaran baru. Aku mungkin pernah salah kira, atau mudah terpengaruh dengan anggapan bahwa, selain Jakarta macet, Jakarta juga dihuni oleh orang-orang cuek, artis, penjahat teras, pengamen, pencopet atau gelandangan. Ya, itu hanya anggapan dan hanya dapat ditemui di acara-acara televisi. Tetapi di sini, di TIM, tentu berbeda, bukan!
Aku mungkin sama dengan seniman lain di Indonesia bahwa, TIM adalah pusat kesenian, seniman, dari semua genre ada berkumpul dan berkarya. Dari semua golongan maksudku bahwa, mereka yang di sini sudah ada di kelas tingkat nasional, entah dengan alat pengukur yang mana dalam ilmu kesenian atau matematika.
Gambar “Nana Rizki Susanti” Source: www.youtube.com |
Aku cukup santun ada di sini, untuk tidak mengatakan jika aku pendiam atau pemalu. Aku baru punya teman bari di Jakarta selama lebih dua minggu, bari di TIM ini, tepatnya saat acara Technical Meeting lomba cipta puisi. Aku terkejut ketika itu; aku sedang merokok sambil baca puisi Ajip Rosidi di bawah pohon rindang besar di depan toko buku Jose Rizal Manua, tiba-tiba seorang lelaki keturunan Arab menjulurkan tangan padaku, kami berjabat tangan dan saling menyebut nama.
“Nopel,” sebutnya.
“Selendang!” Sahutku.
Tanpa sempat bicara lagi seorang lelaki dengan penampilan mahasiswa, juga menyulurkan tangan dan kami terima, “Tatok”, sebutnya.
Kami ngobrol penajang lebar soal lomba baca puisi. Aku sudah dapat Nomor undian dan tak sempat ikut prosesi Technical Meeting (TM), si Tatok belum dapat nomor undian karena telat ikut TM, dan si Nopel malah belum daftar.
Setiap tema obrolan, kamu hanya berusaha untuk cepat saling akrab. Sampai si Nopel ngajakin ngamen pakai baca puisi lomba di jalan depan sampai Stasiun Cikini.Tetapi, aku dan Tat ok kurang berani untuk melakukannya. Nopel pergi lebih dulu sebelum akhirnya beduk ditabuh.
Singkat cerita, aku dan Tatok pergi ke depan pintu masuk TIM, duduk di kursi panjang milik pedagang kaki lima. Kami pesan kopi buat buka puasa. Kemudian ngobrol soal puasa, untuk mengisi waktu menunggu beduk.
Di waktu beduk yang sama empat hari kemudian, atau malam ini, aku ambil kopi dua gelas buatku dan Tatok. Kami sama-sama menunggu jam 20:00, acara pengumuman final lomba baca puisi. Sembari kami saling cerita tentang hari-hari kemarin yang dipenuhi pembacaan puisi di area ini, oleh semua peserta sesuai no. Undian. Duduk kami didatangi beberapa peserta yang lain dengan tujuan yang sama, kami saling memperkenalkan diri.
Si Tatok, mahasiswa UNAS dengan kepanjangan lain, Urus Nasib Anda Sendiri. Teman perempuannya seorang pemain teater dari UNAS juga yang SKSD, namanya kulupakan, karena dia belum sempat menyebutkan nama dan aku juga tidak. Kemudian si Nana, Nana Riski anak Ilmu Budaya UI yang mau lulus s2, dia perempuan yang selalu dijadikan pembaca puisi-puisi karya Faizal Kamandobat. Aku cukup terkejut, jika dia termasuk peserta lomba yang sudah matang dan tentu sudah menguasai panggung baca puisi. Seperti yang dia sebut bahwa, “aku pembaca puisi-puisi penyair besar”. Aku, entahlah. Hanya peserta lomba baca puisi yang iseng. Sekedar menambah catatan pengalaman dan ragam cerita bosan dalam buku harian.
Ada lagi dari mereka yang riang sebagai pemaca puisi, tentu mereka adalah singanya panggung puisi di Daerahnya masing-masing. Dengan tanpa menyebut namaku di dalamnya.
Satu jam lagi acara pengumuman para Finalis dan sekaligus penampilan mereka akan dimulai.Aku masih sibuk sendiri dengan kebiasaan sehari-hari. Aku belum mempersiapkan diri untuk ikut baca puisi Final nanti. Aku tidak terlalu banyak berharap, aku tidak ingin menambah kadar kekecewaan jika aku tidak lolos ke Final. Bukankah ini adalah pengalaman paling baik sepanjang proses kesenianku selama ini!
Dan aku mungkin akan merasa senang dengan hanya sertifikat, sebagai bukti bahwa aku peserta lomba baca puisi seIndonesia 2013 yang gagalmenjadi jawara tahun pertama ini. Hem, aku ingin menulis puisi lagi.
Malam puncak loba baca puisi Se-Indonesia Hari Puisi Indopos 2013 sudah dimulai: 20.20, acara muncur 20 menit untuk acara pembagian sertifikatbagi peserta.Dan dalamsetiap acara, panitia selalu saja dibebani kekurangan. Namaku dan sebagian peserta yang lain, tidak tertulis di sertifikat. Ya, maklum, namanya juga kekurangan panitia.
Ahmadun Yosi Hervanda sudah selesai memandu acara doa bersama dan mengheningkan cipta bersama, teruntuk kepulangan salah seorang pencipta erupa Indonesia ke rumah Tuhan.
Kemudian Azrizal Nur memberikan ungkapa perihal kebaikan-kebaikan lomba baca puisi 2013. Dia selaku Ketua Penyelenggarajuga dikenal dengan puisi “Kuda”-nya dan sekaligus sebagai Ketua Anjungan Riau.
Selanjutnya acara penampilan Dewan Juri: Sosiawan Leak, Marhalim Zaini, dan Zulhamdani. Ketiga Dewan Juri akan menyampaikan catatan kaki buat para peserta dan seluruh dari perjalanan lomba baca puisi 2013.
Sosiawan Leak menyampaikan beberapa catatan singkatnya, “yang sering dilupakan oleh peserta adalah, keekaan mengembangkan keutuhan penampilan. Kepekaan terhadap item-item normatif dalam membaca puisi di atas panggung. Pembaca puisi di panggung sebagai penyampai maksud dari puisi tersebut.”
Selanjutnya, Zulhamdani naik panggung dan menyampaikan catatannya pula, “peserta mesti lebih pandai lagi dalam mengontrol emosi: menata emosi yang berfungsi terhadap keseluruhan pertunjukan pembacaan puisi. Intinya, menata emosi.”
Terakhir, catatan dari Marhalim Zaini, “Lomba Baca Puisi se-Indonesia 2013, adalah event lomba yang diikuti oleh peserta terbanyak dalam sejarah event lomba baca puisi selama ini. Tercecernya kata-kata dalam puisi yang hilang ketika dibacakan oleh peserta lomba, adalah kesalahan fatal.” Ini adalah catatan merah (salah satunya) terhadap peserta lomba dari juri, Marhalim Zaini.
Dari beberapa catatan peringatan buat peserta yang mungkin gagal di tahun ini dari ketiga juri. Sepertinya ada dalam diriku saat tampil di panggung di nomor undian 008. Aku mulai menjadi entah di depan panggung dalam menunggu nama-nama yang lolos ke final.
Aku benar-benar tegang. Keringat di telapak tangan rembes bersama tinta yang menulis.
***
23.35 / 28 Juli 2013
Kursi panjang besi: area tunggu kereta khusus wanita. Kami duduk menunggu kereta jurusan Bogor. Kereta yang akan mengantarku ke Kalibata Coty dan mengantar Tatok bersama teman perempuannya (menjelang jadi kekasih: dalam menunggu jawaban), Rebeca namanya, ke Pasar Minggu.
Kami jalan kaki dari TIM usai acara para Finalis mempertunjukkan ekspresi puitisnya di panggung. Dan kami hanya menunggu no undian kami ada dalam balon putih dan dibacakan sebagai tanda masuk final. Sampai 20 undian dibacakan, no undian kami tak ada. Kami pulang dengan kesan yang luar biasa. Kami senang meski belum masuk Final. Pengalaman di panggung Nasional dengan 354 peserta itu sudah cukup buat uji nyali.
Dalam perjalanan dari TIM sampai di kursi tunggu panjang di Stasiun Cikini kami bicara; seolah menghibur hati yang takjuga penting untuk dihibur. Sebab kami pulang tanpa rasa kecewa.Dan kami juga paham bahwa, kalah dan menang hanya binus dalam setiap kompetisi. Kami semua (peserta mungkin) sudah sama tahu, mana yang baik, bagus di panggung dan layak masuk ke final 20 besar.
Kesan itu lahir begitu saja sampai kereta jurusan Bogor membawa kami__ dan aku sedang membuat puisi dalam hati yang kalut, sedih, berontak dan entah apa itu suasananya. Aku menulis puisi tentang dua teman baru dan aku di bawah pohon depan toko buku TIM Jakarta di sore hari.
Selman Manrifaivsky, lahir 20 Februari 1990 di pedalaman Indonesia. Puisi dan Cerpennya dimuat di berbagai Media Masa dan termaktub dalam beberapa antologi bersama. Bergiat di KPU (Komunitas Panjang Umur). Bisa dihubungi di Twiiter @Rakyat2030