Sebuah Nyanyian
Kau tahu aku bukan anak sulung gelombang
Perahuku karam jauh di laut kenangan
Sauh dan jangkar terserak di dasar
Rindu debar jadi mawar
Setelah angin tenggara
Membangun menara pasir
Kau dan aku berdekapan
Saling menghirup bau tubuh masing-masing
Sebelum air yang asin menggarami
Jejak kita yang terakhir
Kita berpisah menuju ruang yang bukan kematian:
Sebuah gurun tak berpasir
Hutan tak berpohon
Gunung tanpa api
Tempat segala yang berarti tinggal ilusi:
Padang tanpa musim semi
Hujan dan kemarau tak dikenal lagi
/Yogyakarta, 2015
Kau Pantai Putih
Kau pantai putih tempat lokan menahan perih
Gunung ombak berkejaran, mendekat
Padamu
Segala resah laut mengadu
Misalkan nelayan kepada perahu
Sepanjang waktu terus bersatu
Ingin kudekap kau selalu
Hingga angin pun tahu
Tak ada rahang lebih putih dari rongga karang
Bukankah telah kau saksikan
Seorang pelayar tenggelam di samudera jauh
Jiwanya yang muda menyatu dengan ikan
Camar terbang di atasnya
Melantunkan kalimat-kalimat talqin
Sedang layar putih timbul tenggelam
Diseret gunung gelombang
Pernahkah kau bayangkan
Aku pulau kecil tak berpenghuni
Menanti desau suaramu
Datang dari negeri seribu lampu
Misalkan nelayan kepada perahu
Sepanjang waktu terus bersatu
Ingin kutembangkan sebuah lagu
Dengarkanlah, sebelum aku tidur dan mimpi basah
Dan cintaku yang lemah habis dikikis badai
-badai dari lembah purbakala
/Yogyakarta, 2015
*Penyair Dari Pulau Garam, Puisi ini pernah dinaikkan di Blogspot Metafora