Opini  

Sederet Kejanggalan di KPU Sumenep dalam Melakukan Seleksi PPK dan PPS, DKPP; Wajib Investigasi KPU SUMENEP

Banyak Kejanggalan di KPU Sumenep dalam Melakukan Seleksi PPK dan PPS, DKPP Wajib Investigasi KPU Sumenep
Banyak Kejanggalan di KPU Sumenep dalam Melakukan Seleksi PPK dan PPS, DKPP Wajib Investigasi KPU Sumenep
banner 468x60

PILIHANRAKYAT.ID – Sportivitas Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumenep dalam penyelenggaraan seleksi panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) memang perlu dipertanyakan karena sarat akan kejanggalan.

Pertama, adanya indikasi pelanggaran terhadap implemetasi pasal 52 Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan pasal 5 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Adhoc Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota yang menyatakan bahwa “komposisi keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”.

Dapat dilihat saat ini dari 135 total jumlah anggota PPK Sumenep, hanya terdapat sekitar 4 (empat) perempuan yang lolos. Dalam artian, keanggotaan PPK Perempuan bahakan tidak sampai 10%.

Padahal beberapa peserta perempuan yang tidak diloloskan dalam seleksi PPK Sumenep memiliki nilai yang tinggi dalam tes tulis.

Ironisnya lagi, sebagaimana dilansir dari Pilihanrakyat.id ()ketika ada salah satu perserta PPK yang meminta klarifikasi terkait hal tersebut, salah satu komisioner sumenep justru tidak beriktikad baik menjelaskan namun malah memblok kontak dari peserta tersebut.

Kejanggalan kedua, KPU Sumenep plin-plan saat mengeluarkan surat keputusan hasil tes tulis PPS.

Pada awalnya KPU Sumenep mengumumkan bahwa ada 2.755 orang yang lolos tes tertulis calon anggota PPS, namun dalam hitungan jam keputusan KPU tersebut tiba-tiba diubah dimana yang dinyatakan lolos tes tulis menjadi sebanyak 2.778 atau bertambah 23 orang dari pengumuman pertama.

Pihak yang melakukan protes terhadap hal tersebut, menduga independensi KPU telah lenyap karena dapat dipengaruhi pihak lain yang menyebabkan munculnya 23 peserta VVIP.

KPU Sumenep beralasan adanya tambahan tersebut karena ada nilai kembar untuk calon anggota PPS di peringkat terakhir yang dinyatakan lulus tes tulis.

Akan tetapi saat nilai tes tulis tersebut diminta untuk dipublikasikan, KPU Sumenep berdalih bahwa tidak ada kewajiban untuk mempublikasikan hal tersebut. Pertanyaannya adalah, apabila dengan mempublikasikan nilai tersebut akan membuat hilangnya kecurigaan terhadap KPU mengapa tidak dipublikasikan saja?

Kejanggalan ketiga, ada dugaan temuan di lapangan bahwa KPU Sumenep untuk meloloskan anggota PPK perlu disuap Rp. 15-25 juta untuk tngkat PPK dan Rp. 3-5 juta untuk tingkat PPS.

Artinya, ketika melihat realita ini, seharusnya KPU dengan visinya yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kemandirian, professionalitas, dan berintegritas, rupanya malah banyak penyelenggara KPU khususnya KPU Sumenep, beritindak layaknya bukan sebagai KPU.

Dan ketika kondisi semacam ini terus dibiarkan oleh pihak-pihak yang bersangkutam, maka apa yang dicita-citakan KPU agar terwujudnya Pemilu yang LUBER dan JURDIL, pun hilang dihadapan rupiah.

Terhadap dugaan ini, kelompok pemuda “Jatim Progress” menuntut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk memeriksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumenep karena diduga melanggar kode etik.

Selain tiga kejanggalan di atas, penulis menemukan kejanggalan lain dari pengalaman tes wawancara kenalan penulis yang mengikuti tes seleksi PPS.

Pada tes tersebut, diselipkan beberapa pertanyaan yang sebenarnya keluar dari konteks seleksi PPK atau Pemilu seperti, “apakah kamu saat mendaftar PPS sudah izin ketua PPK atau istrinya?”

Apabila pertanyaannya demikian, lantas adakah standar pertanyaan yang diberikan dalam seleksi PPK atau PPS? Apabila ada, adakah indikator untuk mengukur terpenuhi standar tersebut atau tidak dalam meloloskan peserta? ataukah pelolosan peserta hanya berdasarkan penilaian subjektif pewawancara semata?

Dalam hal ini, penulis sangat mendukung agar DKPP melakukan investigasi tuntas terhadap indikasi-indikasi pelanggaran yang dilakukan KPU Sumenep untuk membuat terang segala kecurigaan masyarakat.

Mengabaikan kejanggalan-kejanggalan tersebut merupakan penistaan terhadap kedaulatan rakyat (Demokrasi) yang termanifestasi dalam Pemilihan Umum. Mendiamkan tindakan-tindakan mencurigakan KPU sama halanya turut membantu menyuburkan tumbuhnya bibit penyalahgunaan kekuasaan dan kezaliman oleh pemerintah.

Oleh sebab itu, sudah sewajarnya saat ini DKPP harus melakukan pemeriksaan terhadap KPU Sumenep!

(Eva)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *